Senin, 28 Desember 2015

Cerpen Dandelion

DANDELION

            Merenung sendirian menatap nisan yang kini memandangnya. Gadis itu menengadah, matanya menatap jauh, jauh ke atas langit nan biru. Butiran bening disetiap sudut matanya, membasahi kulit halus kedua pipi itu.  Seandainya ia bisa memutar waktu, tak akan ia biarkan semua itu terjadi. Seharusnya ia bisa mencegah kepergiannya beberapa tahun yang lalu. Ia benar-benar menyesal, tak akan memaafkan dirinya sendiri. Saat itu, ia harus kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya.
                                                            ~~~
            Diumur  10 tahun Suci telah menjadi anak yatim piatu. Tanpa bisa merasakan belas kasih sayang lagi dari kedua orangtuanya. Bersama neneknya dia menghabiskan waktu untuk menggantikan seorang ibu. Melepas kesedihan, kesenangan dan apapun yang ia rasakan kepada neneknyalah ia berkeluh kesah. Gadis yang memang berparas putih, mempesona dan tampilan dengan sederhana walau fisiknya terlihat begitu rapuh. Ada seorang lagi yang sangat berarti dalam hidupnya, Farhan. Sahabatnya yang sejak  dari kecil sampai lulus SMP masih setia menemaninya dikala suka dan duka. Tak diragukan lagi, Farhan memang sosok teman yang baik, belajar kelompok bersama, bermain ke taman, sampai berangkat sekolah juga bersama. Saat-saat itulah Suci tak pernah merasakan kesedihan, bahkan kedukaan ibunya yang telah tiada pada saat kelas 1 SMP sudah sirna dari ingatannya. Kebahagiaanlah yang sedang menyelimuti hari-harinya. Betapa beruntunngnya gadis itu mempunyai sosok sahabat seperti Farhan. Walau keluarganya berbeda jauh, namun Mama Farhan bersikap baik kepada keluarga Suci. Mereka memaklumi keluarga Suci yang memang neneknya tak punya penghasilan yang tetap. Seringkali mereka memberi makanan karena merasa kasihan dan ingin berbagi dengan tetangga dekatnya itu.
            Semangat Suci setiap esok menjemputnya untuk pergi ke sekolah, ketika pagi hari pintu rumahnya diketuk oleh seseorang yang ditungguinya.
            “Assalamu’alaikum.. Sucii.. mau berangkat bareng apa nggak?”teriak Farhan yang sudah rapi dengan pakaian putih biru dan topi yang menempel di tasnya, dengan sabar menunggu di depan pintu rumah.
            “Iya Farhan, tunggu sebentarr...” seru Suci yang sedang bersiap-siap dari dalam rumahnya.
            “Oke...” jawab Farhan yang menuruni rumah Suci menuju sepeda yang disandarkannya di depan rumah Suci.
            “Ayo, kita berangkat sekarang.. !! “ kata Suci dengan senyum yang merekah dari wajahnya yang berseri-seri.
            “Baiklah, cepat naik di belakangku! “ ucap Farhan yang sudah bersiap menaiki sepedanya.
            Sepeda dikayuh dengan cepat, udara pagi yang menusuk sampai kulit-kulit itu begitu terasa. Mereka terbiasa berangkat bersama, tak heran jika teman-temannya menganggap mereka memiliki hubungan khusus. Padahal, hanya sebatas sahabat paling dekat saja. Jalanan yang mulus serta jarak yang lumayan jauh, hingga mereka tak sadar jika sudah di depan gerbang sekolah.
            “Aku masuk kelas duluan .. Nanti pulang sekolah nunggunya di parkiran sepeda aja kayak biasa .. “ kata Suci sambil berjalan mundur menghadap ke Farhan dan melambaikan tangan kepadanya.
            “Iya baiklah, sampai nanti.” Jawab Farhan yang berjalan menuju tempat parkiran dengan sepedanya.
            Mereka memang tidaklah menempati kelas yang sama. Suci yang sekarang sudah di kelas 9a dan Farhan di kelas 9d. Walau begitu, ketika jam istirahat tiba tak malu Farhan memberi bekal walau sedikit untuk Suci yang dibawakan ibunya. Karena ia menganggap Suci seperti adiknya sendiri. Pernah suatu kali, ia melihat Suci dibully oleh beberapa siswi lain, tak sengaja ia melihat kejadian itu, dengan geram dan tak sabar ia langsung membentak dan memarahi siswi yang mem-bully Suci itu. Tak peduli walau siswi itu sebenarnya anak seorang guru di sekolahnya. Rasa kasih sayang layaknya kakak adik itu selalu ada dalam diri mereka, tak hiraukan celaan dan gunjingan orang mengenai hubungan keduanya.
            Setelah kurang lebih 7 jam mengikuti pelajaran, bel berbunyi. Tanda pulang tiba.
            “ Han, kamu darimana ?? kok arah kamu bukan dari kelas tapi kayak habis dari UKS, ada apa?” tanya Suci yang ternyata memperhatikan gerak-gerik Farhan.
            “Oh.. akuu.. nggak apa-apa kok, tadi cumaaa, naahh iya.. tadi Cuma dipanggil guru aja, maka dari itu kamu liat aku arahnya dari UKS..hehe” jawab Farhan yang berbicara tergagap-gagap dengan wajah sedikit ketawa aneh namun pucat.
            “Oh, begitu.. ya udah pulang aja yuk!” ajak Suci yang bangkit dari tempat duduknya setelah cukup puas mendengar alasannya Farhan.
            “Ya udah yuk, emang kamu gak ada ekskul apa-apa, Ci?” tanya Farhan yang akan bergerak menuju parkiran.
            “Gak ada, Pak Nur izin jadi gak ada yang ngajar buat mading sekolah.” Ucap Suci sambil mengangkat kedua bahunya.
            “Ya sudah.. “ kata Farhan dengan datar.
            Sepeda melaju, menyusuri satu dua bangunan yang berdiri gagah, melewati sawah dan ladang pula yang berjejer-jejer di samping kanan kiri. Jilbab putih yang berkibar dengan terpaan angin yang berdesir di sekujur tubuhnya. Berlawan arah dengan mereka. Dengan sabar dan mencoba kuat, Farhan bertahan untuk langkahnya agar tiba di rumah. Tubuhnya terasa ingin mengeluh, namun ia tak ingin sahabat mengetahui hal itu.
            “Eh Farhan, kita main dulu yuk ke taman deket danau itu.. biar gak bosen, ayolah.. mau kan?” ajak Suci dengan penuh harap.
            “Ayo, tapi dimana sih tempatnya, aku lupa nih..” ucap Farhan dengan mengingat-ingat tempatnya.
            “Ada belokan di depan, kita belok kanan aja. Nah disitu..” jawab Suci yang duduk diam di belakang sepedanya.
            Tak lama mereka tiba di tempat yang ditujunya, danau dengan taman yang penuh dengan bunga dandelion. Putih, berterbangan, indah dengan sederhana namun memukau hati Suci.
            “Farhan, tempatnya jadi bagus banget.. udah lama gak kesini, eh udah berubah aja tamannya. Cantiknya..”seru Suci yang bahagia melihat taman yang dipenuhi dandelion.

            “Wow.. indah ya.. Eh, ke tempat duduk di sana yuk deket danau itu, keren deh..” seru Farhan dengan menunjuk ke arah danau
            “Seperti surga yang tenang, sungguh tempat yang menakjubkan.” Kata Suci yang kagumnya melihat danau itu.
            Layaknya tempat yang belum pernah ditatap oleh mereka, angin yang berdesir hingga panas terik siang itu tak terasa sedikitpun. Tempat yang asri, indah nan menawan hati. Dandelion putih di segala tempat memenuhi di segala penjuru taman. Berterbangan membawa harapan dan mimpi-mimpi yang jernih, ke tempat yang sudah seharusnya diciptakan. Dandelion yang perkasa itu akan menciptakan kehidupan baru di tempat lain. Suci yang kala itu merasakan bahagia tak terucap, bersama seorang yang sangat berarti dalam hidupnya.
            “Farhan, coba liat ini.. dandelion ini indah berterbangan semuanya. Sungguh ciptaan yang tak ada tandingannya. Tapi kemana dandelion ini pergi?” ujar Suci dengan sedikit bingung namun juga takjub dengan kejadian itu.
            “Dandelion itu akan prgi bersama angin, terbang mengikutinya dan tumbuh dimana yang memang seharusnya ia tumbuh.” Jawab Farhan yang berada di belakang Suci dengan sikap bijaknya.
            “Iya ya.. betul juga kamu Farhan. Kita gak tau dimana ia akan tumbuh subur seperti ini.”kata Suci yang sedang menghadap ke arah danau.
            “Suci, maukah kamu tengok ke belakangmu sebentar saja?” pinta Farhan yang berada di belakangnya.
            Dengan rasa penasaran, Suci langsung membalikkan badannya yang artinya ia langsung menata mata Farhan.
            “Wah.. buat aku ini Farhan? Terimakasih banyak.. Sungguh indah..”takjub Suci yang memegang dan mencium seikat dandelion yang diikat pita merah muda yang didapatkannya dari Farhan.
            “Iya, sengaja aku buatkan untukmu.” Secercah senyum yang tampak dari Farhan setelah mengangguk kepada Suci.
            Hati Suci yang kini bertambah gembira, senang dan tak bisa diungkapkan. Ia juga ingin menjadi seperti bunga dandelion. Kini, usia yang sudah menginjak remaja itu  merasakan getaran hati kepada Farhan. Namun ia tak mau rasa itu memecahkan persahabatan yang sudah terjalin sejak lama itu. Cukup ia saja dan mungkin akan ia ceritakan pada neneknya.
            Sore pun datang menjemput, hingga mengharuskan mereka melepaskan kedamaian itu walau terasa hanya sejenak. Tak ada alasan untuk berlama-lama di taman itu. Tempat yang bagai surga di dalamnya. Menjadi kenangan manis yang akan dikenangnya bersama, walau sederhana namun itu cukup.
            Hobi yang sama sejak kecil membuat mereka selalu bersama, ya membaca buku. Mereka menganggap sangatlah mengasyikkan membaca buku-buku, tenggelam bersama ribuan kata-kata yang menariknya ke dalam dunia impian. Rasa ingin tahu yang tinggi seringkali mereka ingin memiliki perpustakaan sendiri. Sudah 2 rak koleksi buku mereka bersama-sama yang berada di ruang khusus yang mereka buat sendiri, tepatnya di samping rumah Suci yang sudah tidak ditempati lagi. Bermacam buku mereka koleksi mulai dari novel hingga buku agama. Mereka ingin memiliki perpustakaan umum sendiri, lalu siapapun yang ingin boleh meminjamnya. Itulah keinginan mereka berdua. Pernah, suatu ketika Farhan ditanya apakah cita-citanya. Dia hanya tersenyum.
            “Far, pasti kau kan punya cita-cita, apa yang kamu inginkan? Emm.. tanya aja sih, kalau gak boleh tau juga gak apa kok.. “ tanya Suci dengan rasa penasaran namun tetap ia jaga agar tidak berlebihan.
            “Ehmm...” Farhan hanya tersenyum memandang langit. “aku Cuma pengen keliling dunia..” jawabnya dengan tenang.
            “woww.. bolehkah aku ikut? Hehehe.. “canda Suci yang tersenyum lebar menunjukkan lesung pipinya.
            “Hahaha.. nanti saja kalau kita sudah lulus SMA baru jalan-jalan ke luar negeri.. sekalian kuliah gitu.” Kata Farhan yang masih bermimpi.
            Ucapannya kian terbukti, tidak usah menunggu lulus SMA. Farhan yang baru saja lulus SMP tanpa ada rencana apapun dan tak terduga. Ia diboyong keluarganya ke luar negeri untuk bersekolah, tepatnya di negara Jordan. Itu semua karena keinginan dari bibi Farhan yang tinggal di sana, dan berkeinginan menyekolahkan Farhan hingga kuliah nanti. Namun, beban terberat yang sedang dipikirkan Farhan yaitu bagaimana mungki ia meninggalkan Suci, sementara sebelumnya mereka telah berjanji akan melanjutkan sekolah bersama, keinginan mendirikan perpusatakaan bersama. Pupus semua harapan itu. Ia tak tega untuk berbicara jujur kepada Suci.
            “Suci... bolehkah aku berkata jujur kepadamu?” tanya Farhan dengan rasa takut dan tak tega.
            “Iya ngomong aja Far, aku dengerin kok.. “jawab Suci dengan tenang dan bersikap biasa.
            “Sebenarnya, aku harus pergi. Ma’afkan tidak bisa menepati janjiku yang dulu. Dan besok aku harus pergi dari sini, untuk berapa lama aku tidak tahu. Yang pasti aku akan kembali dihadapanmu suatu saat.” KataFarhan dengan ragu disertai takut akan membuat Suci nangis.
            “Kau akan pergi kemana, Far? Jauhkah itu? Sekarang mimpi sudah terwujud. Satu negara akan kau kunjungi. Baiklah, hati-hati dalam perjalananmu. Semoga kau akan bahagia di sana nanti.” Kata Suci yang duduk di sebelahnya dengan kuat ia menahan air mata yang akan tumpah dari sudut ­matanya.
            Suci mencoba memandangi langit nanbiru, angin yang bertebaran membuat kerudungnya tersapu ke kanan dan ke kiri. Ia tak berani menatap Farhan, ia sangat sedih.
            “Suci, lihatlah aku. Dengar, aku harus pergi.. tapi aku janji, suatu saat aku akan kembali untukmu. Aku tahu, kau pasti sangat terpukul mendengar ini semuanya. Tapi ini memang bukanlah rencanaku, bibiku yang memintaku agar aku bersekolah di sana. Kuharap kau akan mengerti.. “ucap Farhan dengan lemah dan menunduk dihadapan Suci yang kala itu duduk bersampingan.
            “Iyaa.. aku mengerti kok Farhan.. Tetaplah jadi Farhan seperti yang aku kenal dulu sampai sekarang. Jaga dirimu baik-baik dan jangan kecewakan ibumu.. akan kutunggu kembalimu.”jawab Suci yang telah menumpahkan air matanya melewati pipinya yang kini basah seluruh permukaannya.
            Kini, hari-hari Suci terasa hampa. Ia layaknya seperti dandelion yang berterbangan, entah kemana yang harus ditujunya. Hanya bisa berpasrah kepada Sang Pencipta apa yang akan terjadi setelahnya tanpa kehadiran Farhan. Suci sekarang banyak mencurahkan hatinya kepada sang nenek. Tak terduga, neneknya meminta Suci untuk masuk di sebuah pondok pesantren. Mau tak mau Suci menerima keputusan neneknya. Dengan pikir matang-matang akhirnya, Suci melanjutkan ke sebuah pondok pesantren yang ada di kota.
            Selama di pesantren semangat Suci kembali seperti sedia kala, ia tidak terlalu memikirkan Farhan. Namun, ketika rasa itu datang Suci hanya bisa memandangi bunga dandelion pemberian Farhan dulu, yang kini sudah diawetkannya agar tidak layu dan terlihat masih segar. Hatinya terasa sakit dan akhirnya air mata bercucuran keluar setiap ia mencium bau harum dandelion itu.



Tak terasa, tiga tahun sudah ia menyelesaikan pesantrennya. Ia dirundung rasa rindu kepada sang nenek. Memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Tak kuat rasanyanjika rasa rindunya itu tak tersampaikan. Ia juga rindu perpusatkaan kecil yang dibuatnya bersama Farhan.
            “Nenek, apakah ada anak-anak kecil yang sering baca buku di sini?” tanya Suci yang kala itu baru saja tiba dari pesantren, sambil melihat-lihat bukunya.
            “Iya, terkadang ada anak-anak yang iseng membaca-baca koleksi bukumu itu. Pernah ada yang meminjam namun sampai sekarang belum juga kembali.”kata nenek Suci yang sedang membawakan tas Suci yang berisi pakaian.
            “oh iya.. kamu sekarang tambah cantik saja Suci, nenek bangga memiliki cucu sepertimu.. “ kata neneknya yang menatap Suci dengan berkaca-kaca.
            “Nenek bisa saja, aku tetep Suci yang kayak dulu kok, nek.. Sucisayang sama nenek.. “ jawab Suci yang mendekati neneknya dan mencium keningnya.
            “Nenek juga sayang sama Suci.. “kata neneknya yang akan menumpahkan air matanya.
            “Oh iya.. Farhan belum pernah pulang ke sini lagi ya, nek?” tanya Suci dengan rasa ingin tahu.
            “Belum tuh.. nenek belum pernah melihatnya lagi setelah terakhir kali dulu dia berpamitan padamu Suci..”ujar nenek Suci dengan nada biasa.
            “Hmm.. ya sudah. Nek, Suci ijin keluar jalan-jalan sebentar ya, kangen suasana di sini.” Ucap Suci dengan menatap neneknya.
            “Iya.. hati-hati ya nak..” kata neneknya dengan penuh nasihat.
            Suci menikmati satu persatu udara di sekitarnya, alam desa yang sudah ditinggalkannya 3 tahun lamanya. Ia berjalan melewati rumah-rumah termasuk rumah Farhan yang tampak sepi. Suci berjalan hingga tak sadar ia sampai di taman dandelion yang dulu pernah dikunjunginya bersama Farhan. Ia memandangi dandelion-dandelion yang tampak subur nan indah. Menuju danau, ia duduk ditempat yang pernah dialaminya dulu. Mengingat itu, ia melamun membayangkan kenangan manis dulu yang pernah ia rasakan. Sekuntum dandelion yang khusus untuknya. Tapi ia sadar kini dirinya sudah menginjak remaja, mungkin Farhan tak akan pernah kembali lagi untuknya. Sirna sudah impiannya untuk memiliki Farhan.
Ketika ia sedang memandangi danau yang tenang, jantungnya terkejut bukan main. Sepasang tangan dari belakangnya menutup kedua mata Suci. Ia benar-benar kaget dan ketakukan. Takut akan orang jahat yang ingin melakukan kejahatan kepadanya.
            “Tolong.. tolong.. siapa ini?? Lepaskan saya, tolong...saya mohon lepaskan saya!!”jerit Suci yang ketakutan dan terus berteriak, namun tangan itu kuat dan terus menutup mata Suci dari belakangnya.
            “Hahaha... Suciiiii.. ini aku Farhan. Aku, sahabat kamu.. hahaha..” seru Farhan sambil melepaskan tangannya dari mata Suci, ia tertawa puas melihat Suci seperti itu.
            “Farhannn.... kamuu kapan pulang? Kamu jahat banget sih, aku kira tadi penjahat beneran loh..ini beneran kamu Farhan? Kok kamu tau aku di sini?” tanya Suci yang masih tidak percaya bahwa seseorang dengan kulit putih, tinggi yang kini dihadapannya adalah Farhan.
            “Iya ini aku Suci.. Farhan, aku pulang tadi malam. Terus tadi gak sengaja kamu lewat depan rumahku, terus aku ikuti kamu sampai ke sini.. haha.. kamu kok tambah alim aja setelah pulang dari pesantren.. hehe..” canda Farhan yang kini masih menatap Suci yang dihadapannya.
            “Aku gak nyangka, aku juga baru tadi pagi-pagi sampe rumah, kangen nenek jadi pulang. Apakah ini sebuah kebetulan? Aku kira kamu gak akan pulang ke sini lagi.” Kata Suci yang masih belum percaya kalau lelaki yang dihadapannya adalah Farhan, hingga Suci bingung mau mulai bicara darimana kepadanya.
            “Mungkin aja, soalnya aku juga rindu rumah disini, sekalian juga rindu kamu Suci, jadinya aku pulang deh.. hehe “ jawab Farhan yang kini duduk bersampingan dengan Suci.
            “Hahaha.. eh, gimana belajarmu di sana? Menyenangkan sekali bukan? Kapan-kapan bolehlah aku ikut Farhan? Hehe..” canda Suci yang memandangi danau.
            Farhan langsung kaget mendengar pertanyaan yang Suci lontarkan kepadanya, pasalnya di luar negeri itu Farhan tidak hanya belajar namun juga ingin mengobati sakitnya. Walau ia memang tidak pernah terlihat sakit, sebenarnya rasa sakit itu ia tahan agar satupun orang tidak boleh ada yang mengetahuinya, kecuali keluarga Farhan.
            “Farhan.. kok kamu diem? Halloo..” seru Suci yang tangannya ia lambaikan pada wajah Farhan.
            “Ehh..iya.. menyenangkan kok.. asyik loh, kamu mau ikut? Mau tinggal dimana emang nantinya? Hehe..” jawab Farhan dengan sedikit gugup dan kebohongan, walau kenyataannya setiap hari disana ia harus menahan sakit yang dideritanya.
            “Hmm.. okelah.. mulai sekarang aku mau nabung dulu buat hidup disana.. hehe.. Eh, pulang yuk! Udah sore, nanti nenekku nyariin aku lagi..”ucap gadis berjilbab ini yang bangkit dari tempat duduknya.
            Mereka akhirnya pulang, karena mengingat hari semakin sore. Para dandelionpun ingin beristirahat tanpa ada yang mengganggunya.
Keesokan harinya, Suci disuruh neneknya untuk memberikan makanan kepadanya Ibu Farhan, setelah sampai di rumah Farhan ia bertemu dengan pembantu rumah Farhan.
            “Bi, Ibunya Farhan ada di rumah tidak? Saya ingin memberikan ini titipan dari nenek saya.” Kata Suci sambil menyodorkan makanan yang dibawanya.
            “Ohh.. Ibunya Farhan lagi ke rumah sakit nak Suci, apa kamu tidak tahu kalau sekarang Farhan sedang kritis di rumah sakit.” Kata pembantu Farhan yang terlihat bingung.
            “Hahh? Emang Farhan kenapa ‘bi? Dia kan baik-baik aja kemarin..” Jawab Suci yang kaget dan tak percaya.
            “Bibi juga kurang tahu, lebih baik nak Suci sekarang ke rumah sakit saja.. ini bibi kasih alamat rumah sakitnya.”ucapnya sambil memberikan secarik kertas kepada Suci.
            Tanpa pikir panjang, Suci langsung menuju rumah sakit dengan menaiki ojek yang tak jauh dari rumah Farhan. Sepanjang jalan ia berdo’a, tetap saja rasa takut, khawatir dan gelisah tak bisa ia hilangkan. Setiba di rumah sakit, ia langsung mencari kamarnya Farhan. Di sana ia bertemu dengan ibu Farhan yang tak menyangka Suci akan tahu kalau Farhan sedang dirawat.
            “Suci.. kamu kok tahu kalau Farhan di sini?” tanya Ibu Farhan dengan kebingungan yang sedang berada di ruang tunggu.
            “Iya tante, saya tahu dari pembantu tante, tadi saya mau mengantarkan makanan dari nenek. Tapi pembantu tante mengatakan kalau tante di sini. Emang sakit apa yang diderita Farhan tante?” tanya Suci yang masih tidak percaya.
            “Sebenarnya, Farhan sudah dari awal SMP sakit-sakitan seperti ini, dia menderita ginjal. Tapi mungkin nak Suci tidak tahu akan hal itu, dia memang menyembunyikan rasa sakitnya itu dari teman-temannya, terutama kamu nak Suci. Dia tidak ingin membuat orang yang ia sayangi menderita dan sedih kalau ia sakit ginjal. Padahal, waktu diluar negeri dia sudah dioperasi dan mengatakan kalau Farhan sudah sembuh. Tapi, sekarang sakitnya kembali lagi. Tante sangat sedih nak Suci kalau Farhan tidak bisa ditolong lagi..” cerita Ibu Farhan kepada Suci yang duduk berhadapan. Air mata tak tanggung tumpah dari pelupuk mata mereka berdua.
            “Ya Allah.. kenapa Farhan gak pernah cerita ?? Farhan pasti  bisa ditolong, masih banyak jalan. Kita berdo’a saja untuk kesembuhan Farhan tante.. Aku gak mau kehilangan teman seperti Farhan tante..” tangis Suci yang membasahi wajah hingga kerudung yang ia kenakan.
            Tak lama seorang dokter keluar dan mengatakan kalau Farhan sudah sadar. Ibunya yang sudah tak kuat landsung masuk diikuti Suci dibelakangnya. Suci yang kala itu sangat sedih berusaha terlihat kuat dan tak ingin membuat Farhan sedih.
            “Suci.. itu kamu? Kok tahu kalo aku disini?” kata Farhan yang masih terbaring dan tertatih-tatih untuk bicara.
            “Iya ini aku Suci, Farhan. Kamu kenapa bisa sakit seperti ini? Selama ini juga kenapa gak pernah cerita sih sama aku.. “ucap Suci dengan hati yang sangat sedih tak bisa ditahankan.
            “Ma’afkan aku Suci, aku hanya tak ingin membuatmu sedih atas semua ini. Ma’afkan segala kesalahanku selama ini.. Sebagai tanda ma’afku aku ingin memberimu sekuntuk dandelion yang kemarin kupetik untukmu, kenanglah ini sebagai tanda terimakasihku.. Suatu saat nanti aku ingin hidup bersamamu, namun raga ini yang tidak bisa dipaksakan untuk hidup terus. Tetaplah tersenyum melewati hari-harimu tanpa keberadaanku.. Aku sangat mencintaimu Suci..” sekuntum dandelion yang diberikan Farhan akan selau dikenangnya Suci, sangat berharga.

            Setiap hembusan angin bisa menerbangkan semuanya perlahan, semuanya tetap terlihat menarik dan memepesona walau si bunga pergi satu per satu. Dandelionpun tak berbunga lagi. Ia menunggu untuk dapat merekah lagi kemudian mati. Menghargai setiap waktu yang singkat dengan mengikuti arah angin yang akan membawanya kemanapun tanpa seorang yang tau dimana akan meletakkan raga ini.. Saat angin meniupnya untuk pergi tapi kepergian itu bukan akhir segalanya. Justru merupakan awal kehidupan baru karena berkas mereka memenuhi penciptaan Allah untuk menebarkan impian dandelion tumbuh di tempat lain. Suci ingin menciptakan butiran-butiran dandelion emas untuk orang-orang disekitarnya, lalu perlahan mengikuti arah Farhan yang jauh di sana, jauh...






 ~~~