DANDELION
Merenung sendirian menatap nisan
yang kini memandangnya. Gadis itu menengadah, matanya menatap jauh, jauh ke
atas langit nan biru. Butiran bening disetiap sudut matanya, membasahi kulit
halus kedua pipi itu. Seandainya ia bisa
memutar waktu, tak akan ia biarkan semua itu terjadi. Seharusnya ia bisa
mencegah kepergiannya beberapa tahun yang lalu. Ia benar-benar menyesal, tak
akan memaafkan dirinya sendiri. Saat itu, ia harus kehilangan seseorang yang
sangat berarti dalam hidupnya.
~~~
Diumur 10 tahun Suci telah menjadi anak yatim piatu.
Tanpa bisa merasakan belas kasih sayang lagi dari kedua orangtuanya. Bersama
neneknya dia menghabiskan waktu untuk menggantikan seorang ibu. Melepas
kesedihan, kesenangan dan apapun yang ia rasakan kepada neneknyalah ia berkeluh
kesah. Gadis yang memang berparas putih, mempesona dan tampilan dengan
sederhana walau fisiknya terlihat begitu rapuh. Ada seorang lagi yang sangat
berarti dalam hidupnya, Farhan. Sahabatnya yang sejak dari kecil sampai lulus SMP masih setia
menemaninya dikala suka dan duka. Tak diragukan lagi, Farhan memang sosok teman
yang baik, belajar kelompok bersama, bermain ke taman, sampai berangkat sekolah
juga bersama. Saat-saat itulah Suci tak pernah merasakan kesedihan, bahkan
kedukaan ibunya yang telah tiada pada saat kelas 1 SMP sudah sirna dari
ingatannya. Kebahagiaanlah yang sedang menyelimuti hari-harinya. Betapa
beruntunngnya gadis itu mempunyai sosok sahabat seperti Farhan. Walau
keluarganya berbeda jauh, namun Mama Farhan bersikap baik kepada keluarga Suci.
Mereka memaklumi keluarga Suci yang memang neneknya tak punya penghasilan yang
tetap. Seringkali mereka memberi makanan karena merasa kasihan dan ingin
berbagi dengan tetangga dekatnya itu.
Semangat Suci setiap esok
menjemputnya untuk pergi ke sekolah, ketika pagi hari pintu rumahnya diketuk
oleh seseorang yang ditungguinya.
“Assalamu’alaikum.. Sucii.. mau
berangkat bareng apa nggak?”teriak Farhan yang sudah rapi dengan pakaian putih
biru dan topi yang menempel di tasnya, dengan sabar menunggu di depan pintu
rumah.
“Iya Farhan, tunggu sebentarr...”
seru Suci yang sedang bersiap-siap dari dalam rumahnya.
“Oke...” jawab Farhan yang menuruni
rumah Suci menuju sepeda yang disandarkannya di depan rumah Suci.
“Ayo, kita berangkat sekarang.. !! “
kata Suci dengan senyum yang merekah dari wajahnya yang berseri-seri.
“Baiklah, cepat naik di belakangku!
“ ucap Farhan yang sudah bersiap menaiki sepedanya.
Sepeda dikayuh dengan cepat, udara
pagi yang menusuk sampai kulit-kulit itu begitu terasa. Mereka terbiasa
berangkat bersama, tak heran jika teman-temannya menganggap mereka memiliki
hubungan khusus. Padahal, hanya sebatas sahabat paling dekat saja. Jalanan yang
mulus serta jarak yang lumayan jauh, hingga mereka tak sadar jika sudah di
depan gerbang sekolah.
“Aku masuk kelas duluan .. Nanti
pulang sekolah nunggunya di parkiran sepeda aja kayak biasa .. “
kata Suci sambil berjalan mundur menghadap ke Farhan dan melambaikan tangan
kepadanya.
“Iya baiklah, sampai nanti.” Jawab
Farhan yang berjalan menuju tempat parkiran dengan sepedanya.
Mereka memang tidaklah menempati
kelas yang sama. Suci yang sekarang sudah di kelas 9a dan Farhan di kelas 9d.
Walau begitu, ketika jam istirahat tiba tak malu Farhan memberi bekal walau
sedikit untuk Suci yang dibawakan ibunya. Karena ia menganggap Suci seperti
adiknya sendiri. Pernah suatu kali, ia melihat Suci dibully oleh beberapa siswi
lain, tak sengaja ia melihat kejadian itu, dengan geram dan tak sabar ia
langsung membentak dan memarahi siswi yang mem-bully Suci itu. Tak
peduli walau siswi itu sebenarnya anak seorang guru di sekolahnya. Rasa kasih
sayang layaknya kakak adik itu selalu ada dalam diri mereka, tak hiraukan
celaan dan gunjingan orang mengenai hubungan keduanya.
Setelah kurang lebih 7 jam mengikuti
pelajaran, bel berbunyi. Tanda pulang tiba.
“ Han, kamu darimana ?? kok arah
kamu bukan dari kelas tapi kayak habis dari UKS, ada apa?” tanya Suci yang
ternyata memperhatikan gerak-gerik Farhan.
“Oh.. akuu.. nggak apa-apa kok, tadi
cumaaa, naahh iya.. tadi Cuma dipanggil guru aja, maka dari itu kamu liat aku arahnya
dari UKS..hehe” jawab Farhan yang berbicara tergagap-gagap dengan wajah sedikit
ketawa aneh namun pucat.
“Oh, begitu.. ya udah pulang aja
yuk!” ajak Suci yang bangkit dari tempat duduknya setelah cukup puas mendengar
alasannya Farhan.
“Ya udah yuk, emang kamu gak ada
ekskul apa-apa, Ci?” tanya Farhan yang akan bergerak menuju parkiran.
“Gak ada, Pak Nur izin jadi gak ada
yang ngajar buat mading sekolah.” Ucap Suci sambil mengangkat kedua bahunya.
“Ya sudah.. “ kata Farhan dengan
datar.
Sepeda melaju, menyusuri satu dua
bangunan yang berdiri gagah, melewati sawah dan ladang pula yang berjejer-jejer
di samping kanan kiri. Jilbab putih yang berkibar dengan terpaan angin yang
berdesir di sekujur tubuhnya. Berlawan arah dengan mereka. Dengan sabar dan
mencoba kuat, Farhan bertahan untuk langkahnya agar tiba di rumah. Tubuhnya
terasa ingin mengeluh, namun ia tak ingin sahabat mengetahui hal itu.
“Eh Farhan, kita main dulu yuk ke
taman deket danau itu.. biar gak bosen, ayolah.. mau kan?” ajak Suci dengan penuh
harap.
“Ayo, tapi dimana sih tempatnya, aku
lupa nih..” ucap Farhan dengan mengingat-ingat tempatnya.
“Ada belokan di depan, kita belok
kanan aja. Nah disitu..” jawab Suci yang duduk diam di belakang sepedanya.
Tak lama mereka tiba di tempat yang
ditujunya, danau dengan taman yang penuh dengan bunga dandelion. Putih,
berterbangan, indah dengan sederhana namun memukau hati Suci.
“Farhan, tempatnya jadi bagus
banget.. udah lama gak kesini, eh udah berubah aja tamannya. Cantiknya..”seru
Suci yang bahagia melihat taman yang dipenuhi dandelion.
“Wow.. indah ya.. Eh, ke tempat
duduk di sana yuk deket danau itu, keren deh..” seru Farhan dengan menunjuk ke
arah danau
“Seperti surga yang tenang, sungguh
tempat yang menakjubkan.” Kata Suci yang kagumnya melihat danau itu.
Layaknya tempat yang belum pernah
ditatap oleh mereka, angin yang berdesir hingga panas terik siang itu tak
terasa sedikitpun. Tempat yang asri, indah nan menawan hati. Dandelion putih di
segala tempat memenuhi di segala penjuru taman. Berterbangan membawa harapan
dan mimpi-mimpi yang jernih, ke tempat yang sudah seharusnya diciptakan. Dandelion
yang perkasa itu akan menciptakan kehidupan baru di tempat lain. Suci yang kala
itu merasakan bahagia tak terucap, bersama seorang yang sangat berarti dalam
hidupnya.
“Farhan, coba liat ini.. dandelion
ini indah berterbangan semuanya. Sungguh ciptaan yang tak ada tandingannya.
Tapi kemana dandelion ini pergi?” ujar Suci dengan sedikit bingung namun juga
takjub dengan kejadian itu.
“Dandelion itu akan prgi bersama
angin, terbang mengikutinya dan tumbuh dimana yang memang seharusnya ia
tumbuh.” Jawab Farhan yang berada di belakang Suci dengan sikap bijaknya.
“Iya ya.. betul juga kamu Farhan.
Kita gak tau dimana ia akan tumbuh subur seperti ini.”kata Suci yang sedang
menghadap ke arah danau.
“Suci, maukah kamu tengok ke
belakangmu sebentar saja?” pinta Farhan yang berada di belakangnya.
Dengan rasa penasaran, Suci langsung
membalikkan badannya yang artinya ia langsung menata mata Farhan.
“Wah.. buat aku ini Farhan?
Terimakasih banyak.. Sungguh indah..”takjub Suci yang memegang dan mencium
seikat dandelion yang diikat pita merah muda yang didapatkannya dari Farhan.
“Iya, sengaja aku buatkan untukmu.”
Secercah senyum yang tampak dari Farhan setelah mengangguk kepada Suci.
Hati Suci yang kini bertambah
gembira, senang dan tak bisa diungkapkan. Ia juga ingin menjadi seperti bunga
dandelion. Kini, usia yang sudah menginjak remaja itu merasakan getaran hati kepada Farhan. Namun ia
tak mau rasa itu memecahkan persahabatan yang sudah terjalin sejak lama itu.
Cukup ia saja dan mungkin akan ia ceritakan pada neneknya.
Sore pun datang menjemput, hingga
mengharuskan mereka melepaskan kedamaian itu walau terasa hanya sejenak. Tak
ada alasan untuk berlama-lama di taman itu. Tempat yang bagai surga di dalamnya.
Menjadi kenangan manis yang akan dikenangnya bersama, walau sederhana namun itu
cukup.
Hobi yang sama sejak kecil membuat
mereka selalu bersama, ya membaca buku. Mereka menganggap sangatlah
mengasyikkan membaca buku-buku, tenggelam bersama ribuan kata-kata yang
menariknya ke dalam dunia impian. Rasa ingin tahu yang tinggi seringkali mereka
ingin memiliki perpustakaan sendiri. Sudah 2 rak koleksi buku mereka
bersama-sama yang berada di ruang khusus yang mereka buat sendiri, tepatnya di
samping rumah Suci yang sudah tidak ditempati lagi. Bermacam buku mereka
koleksi mulai dari novel hingga buku agama. Mereka ingin memiliki perpustakaan
umum sendiri, lalu siapapun yang ingin boleh meminjamnya. Itulah keinginan
mereka berdua. Pernah, suatu ketika Farhan ditanya apakah cita-citanya. Dia
hanya tersenyum.
“Far, pasti kau kan punya
cita-cita, apa yang kamu inginkan? Emm.. tanya aja sih, kalau gak boleh tau
juga gak apa kok.. “ tanya Suci dengan rasa penasaran namun tetap ia jaga agar
tidak berlebihan.
“Ehmm...” Farhan hanya tersenyum
memandang langit. “aku Cuma pengen keliling dunia..” jawabnya dengan tenang.
“woww.. bolehkah aku ikut? Hehehe..
“canda Suci yang tersenyum lebar menunjukkan lesung pipinya.
“Hahaha.. nanti saja kalau kita
sudah lulus SMA baru jalan-jalan ke luar negeri.. sekalian kuliah gitu.” Kata
Farhan yang masih bermimpi.
Ucapannya kian terbukti, tidak usah
menunggu lulus SMA. Farhan yang baru saja lulus SMP tanpa ada rencana apapun
dan tak terduga. Ia diboyong keluarganya ke luar negeri untuk bersekolah,
tepatnya di negara Jordan. Itu semua karena keinginan dari bibi Farhan yang
tinggal di sana, dan berkeinginan menyekolahkan Farhan hingga kuliah nanti.
Namun, beban terberat yang sedang dipikirkan Farhan yaitu bagaimana mungki ia
meninggalkan Suci, sementara sebelumnya mereka telah berjanji akan melanjutkan
sekolah bersama, keinginan mendirikan perpusatakaan bersama. Pupus semua
harapan itu. Ia tak tega untuk berbicara jujur kepada Suci.
“Suci... bolehkah aku berkata jujur
kepadamu?” tanya Farhan dengan rasa takut dan tak tega.
“Iya ngomong aja Far, aku dengerin
kok.. “jawab Suci dengan tenang dan bersikap biasa.
“Sebenarnya, aku harus pergi.
Ma’afkan tidak bisa menepati janjiku yang dulu. Dan besok aku harus pergi dari
sini, untuk berapa lama aku tidak tahu. Yang pasti aku akan kembali dihadapanmu
suatu saat.” KataFarhan dengan ragu disertai takut akan membuat Suci nangis.
“Kau akan pergi kemana, Far? Jauhkah
itu? Sekarang mimpi sudah terwujud. Satu negara akan kau kunjungi. Baiklah,
hati-hati dalam perjalananmu. Semoga kau akan bahagia di sana nanti.” Kata Suci
yang duduk di sebelahnya dengan kuat ia menahan air mata yang akan tumpah dari
sudut matanya.
Suci mencoba memandangi langit
nanbiru, angin yang bertebaran membuat kerudungnya tersapu ke kanan dan ke
kiri. Ia tak berani menatap Farhan, ia sangat sedih.
“Suci, lihatlah aku. Dengar, aku
harus pergi.. tapi aku janji, suatu saat aku akan kembali untukmu. Aku tahu,
kau pasti sangat terpukul mendengar ini semuanya. Tapi ini memang bukanlah
rencanaku, bibiku yang memintaku agar aku bersekolah di sana. Kuharap kau akan
mengerti.. “ucap Farhan dengan lemah dan menunduk dihadapan Suci yang kala itu
duduk bersampingan.
“Iyaa.. aku mengerti kok Farhan..
Tetaplah jadi Farhan seperti yang aku kenal dulu sampai sekarang. Jaga dirimu
baik-baik dan jangan kecewakan ibumu.. akan kutunggu kembalimu.”jawab Suci yang
telah menumpahkan air matanya melewati pipinya yang kini basah seluruh
permukaannya.
Kini, hari-hari Suci terasa hampa.
Ia layaknya seperti dandelion yang berterbangan, entah kemana yang harus
ditujunya. Hanya bisa berpasrah kepada Sang Pencipta apa yang akan terjadi
setelahnya tanpa kehadiran Farhan. Suci sekarang banyak mencurahkan hatinya
kepada sang nenek. Tak terduga, neneknya meminta Suci untuk masuk di sebuah
pondok pesantren. Mau tak mau Suci menerima keputusan neneknya. Dengan pikir
matang-matang akhirnya, Suci melanjutkan ke sebuah pondok pesantren yang ada di
kota.
Selama di pesantren semangat Suci
kembali seperti sedia kala, ia tidak terlalu memikirkan Farhan. Namun, ketika
rasa itu datang Suci hanya bisa memandangi bunga dandelion pemberian Farhan
dulu, yang kini sudah diawetkannya agar tidak layu dan terlihat masih segar.
Hatinya terasa sakit dan akhirnya air mata bercucuran keluar setiap ia mencium
bau harum dandelion itu.
Tak terasa, tiga
tahun sudah ia menyelesaikan pesantrennya. Ia dirundung rasa rindu kepada sang
nenek. Memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Tak kuat rasanyanjika rasa
rindunya itu tak tersampaikan. Ia juga rindu perpusatkaan kecil yang dibuatnya
bersama Farhan.
“Nenek, apakah ada anak-anak kecil
yang sering baca buku di sini?” tanya Suci yang kala itu baru saja tiba dari
pesantren, sambil melihat-lihat bukunya.
“Iya, terkadang ada anak-anak yang
iseng membaca-baca koleksi bukumu itu. Pernah ada yang meminjam namun sampai
sekarang belum juga kembali.”kata nenek Suci yang sedang membawakan tas Suci
yang berisi pakaian.
“oh
iya.. kamu sekarang tambah cantik saja Suci, nenek bangga memiliki cucu
sepertimu.. “ kata neneknya yang menatap Suci dengan berkaca-kaca.
“Nenek bisa saja, aku tetep Suci
yang kayak dulu kok, nek.. Sucisayang sama nenek.. “ jawab Suci yang mendekati
neneknya dan mencium keningnya.
“Nenek juga sayang sama Suci.. “kata
neneknya yang akan menumpahkan air matanya.
“Oh iya.. Farhan belum pernah pulang
ke sini lagi ya, nek?” tanya Suci dengan rasa ingin tahu.
“Belum tuh.. nenek belum pernah
melihatnya lagi setelah terakhir kali dulu dia berpamitan padamu Suci..”ujar
nenek Suci dengan nada biasa.
“Hmm.. ya sudah. Nek, Suci ijin
keluar jalan-jalan sebentar ya, kangen suasana di sini.” Ucap Suci dengan
menatap neneknya.
“Iya.. hati-hati ya nak..” kata
neneknya dengan penuh nasihat.
Suci menikmati satu persatu udara di
sekitarnya, alam desa yang sudah ditinggalkannya 3 tahun lamanya. Ia berjalan
melewati rumah-rumah termasuk rumah Farhan yang tampak sepi. Suci berjalan
hingga tak sadar ia sampai di taman dandelion yang dulu pernah dikunjunginya
bersama Farhan. Ia memandangi dandelion-dandelion yang tampak subur nan indah.
Menuju danau, ia duduk ditempat yang pernah dialaminya dulu. Mengingat itu, ia
melamun membayangkan kenangan manis dulu yang pernah ia rasakan. Sekuntum dandelion
yang khusus untuknya. Tapi ia sadar kini dirinya sudah menginjak remaja,
mungkin Farhan tak akan pernah kembali lagi untuknya. Sirna sudah impiannya
untuk memiliki Farhan.
Ketika ia sedang
memandangi danau yang tenang, jantungnya terkejut bukan main. Sepasang tangan
dari belakangnya menutup kedua mata Suci. Ia benar-benar kaget dan ketakukan.
Takut akan orang jahat yang ingin melakukan kejahatan kepadanya.
“Tolong.. tolong.. siapa ini??
Lepaskan saya, tolong...saya mohon lepaskan saya!!”jerit Suci yang ketakutan
dan terus berteriak, namun tangan itu kuat dan terus menutup mata Suci dari
belakangnya.
“Hahaha... Suciiiii.. ini aku
Farhan. Aku, sahabat kamu.. hahaha..” seru Farhan sambil melepaskan tangannya
dari mata Suci, ia tertawa puas melihat Suci seperti itu.
“Farhannn.... kamuu kapan pulang?
Kamu jahat banget sih, aku kira tadi penjahat beneran loh..ini beneran kamu
Farhan? Kok kamu tau aku di sini?” tanya Suci yang masih tidak percaya bahwa
seseorang dengan kulit putih, tinggi yang kini dihadapannya adalah Farhan.
“Iya ini aku Suci.. Farhan, aku
pulang tadi malam. Terus tadi gak sengaja kamu lewat depan rumahku, terus aku
ikuti kamu sampai ke sini.. haha.. kamu kok tambah alim aja setelah pulang dari
pesantren.. hehe..” canda Farhan yang kini masih menatap Suci yang
dihadapannya.
“Aku gak nyangka, aku juga baru tadi
pagi-pagi sampe rumah, kangen nenek jadi pulang. Apakah ini sebuah kebetulan? Aku
kira kamu gak akan pulang ke sini lagi.” Kata Suci yang masih belum percaya
kalau lelaki yang dihadapannya adalah Farhan, hingga Suci bingung mau mulai
bicara darimana kepadanya.
“Mungkin aja, soalnya aku juga rindu
rumah disini, sekalian juga rindu kamu Suci, jadinya aku pulang deh.. hehe “
jawab Farhan yang kini duduk bersampingan dengan Suci.
“Hahaha.. eh, gimana belajarmu di
sana? Menyenangkan sekali bukan? Kapan-kapan bolehlah aku ikut Farhan? Hehe..”
canda Suci yang memandangi danau.
Farhan langsung kaget mendengar
pertanyaan yang Suci lontarkan kepadanya, pasalnya di luar negeri itu Farhan
tidak hanya belajar namun juga ingin mengobati sakitnya. Walau ia memang tidak
pernah terlihat sakit, sebenarnya rasa sakit itu ia tahan agar satupun orang
tidak boleh ada yang mengetahuinya, kecuali keluarga Farhan.
“Farhan.. kok kamu diem? Halloo..”
seru Suci yang tangannya ia lambaikan pada wajah Farhan.
“Ehh..iya.. menyenangkan kok.. asyik
loh, kamu mau ikut? Mau tinggal dimana emang nantinya? Hehe..” jawab Farhan
dengan sedikit gugup dan kebohongan, walau kenyataannya setiap hari disana ia
harus menahan sakit yang dideritanya.
“Hmm.. okelah.. mulai sekarang aku
mau nabung dulu buat hidup disana.. hehe.. Eh, pulang yuk! Udah sore, nanti
nenekku nyariin aku lagi..”ucap gadis berjilbab ini yang bangkit dari tempat
duduknya.
Mereka akhirnya pulang, karena
mengingat hari semakin sore. Para dandelionpun ingin beristirahat tanpa ada
yang mengganggunya.
Keesokan harinya,
Suci disuruh neneknya untuk memberikan makanan kepadanya Ibu Farhan, setelah
sampai di rumah Farhan ia bertemu dengan pembantu rumah Farhan.
“Bi, Ibunya Farhan ada di rumah
tidak? Saya ingin memberikan ini titipan dari nenek saya.” Kata Suci sambil
menyodorkan makanan yang dibawanya.
“Ohh.. Ibunya Farhan lagi ke rumah
sakit nak Suci, apa kamu tidak tahu kalau sekarang Farhan sedang kritis di rumah
sakit.” Kata pembantu Farhan yang terlihat bingung.
“Hahh? Emang Farhan kenapa ‘bi? Dia
kan baik-baik aja kemarin..” Jawab Suci yang kaget dan tak percaya.
“Bibi juga kurang tahu, lebih baik
nak Suci sekarang ke rumah sakit saja.. ini bibi kasih alamat rumah
sakitnya.”ucapnya sambil memberikan secarik kertas kepada Suci.
Tanpa pikir panjang, Suci langsung
menuju rumah sakit dengan menaiki ojek yang tak jauh dari rumah Farhan.
Sepanjang jalan ia berdo’a, tetap saja rasa takut, khawatir dan gelisah tak
bisa ia hilangkan. Setiba di rumah sakit, ia langsung mencari kamarnya Farhan.
Di sana ia bertemu dengan ibu Farhan yang tak menyangka Suci akan tahu kalau
Farhan sedang dirawat.
“Suci.. kamu kok tahu kalau Farhan
di sini?” tanya Ibu Farhan dengan kebingungan yang sedang berada di ruang
tunggu.
“Iya tante, saya tahu dari pembantu
tante, tadi saya mau mengantarkan makanan dari nenek. Tapi pembantu tante
mengatakan kalau tante di sini. Emang sakit apa yang diderita Farhan tante?”
tanya Suci yang masih tidak percaya.
“Sebenarnya, Farhan sudah dari awal
SMP sakit-sakitan seperti ini, dia menderita ginjal. Tapi mungkin nak Suci
tidak tahu akan hal itu, dia memang menyembunyikan rasa sakitnya itu dari
teman-temannya, terutama kamu nak Suci. Dia tidak ingin membuat orang yang ia
sayangi menderita dan sedih kalau ia sakit ginjal. Padahal, waktu diluar negeri
dia sudah dioperasi dan mengatakan kalau Farhan sudah sembuh. Tapi, sekarang
sakitnya kembali lagi. Tante sangat sedih nak Suci kalau Farhan tidak bisa ditolong
lagi..” cerita Ibu Farhan kepada Suci yang duduk berhadapan. Air mata tak
tanggung tumpah dari pelupuk mata mereka berdua.
“Ya Allah.. kenapa Farhan gak pernah
cerita ?? Farhan pasti bisa ditolong,
masih banyak jalan. Kita berdo’a saja untuk kesembuhan Farhan tante.. Aku gak
mau kehilangan teman seperti Farhan tante..” tangis Suci yang membasahi wajah
hingga kerudung yang ia kenakan.
Tak lama seorang dokter keluar dan
mengatakan kalau Farhan sudah sadar. Ibunya yang sudah tak kuat landsung masuk
diikuti Suci dibelakangnya. Suci yang kala itu sangat sedih berusaha terlihat
kuat dan tak ingin membuat Farhan sedih.
“Suci.. itu kamu? Kok tahu kalo aku
disini?” kata Farhan yang masih terbaring dan tertatih-tatih untuk bicara.
“Iya ini aku Suci, Farhan. Kamu
kenapa bisa sakit seperti ini? Selama ini juga kenapa gak pernah cerita sih
sama aku.. “ucap Suci dengan hati yang sangat sedih tak bisa ditahankan.
“Ma’afkan aku Suci, aku hanya tak
ingin membuatmu sedih atas semua ini. Ma’afkan segala kesalahanku selama ini.. Sebagai
tanda ma’afku aku ingin memberimu sekuntuk dandelion yang kemarin kupetik
untukmu, kenanglah ini sebagai tanda terimakasihku.. Suatu saat nanti aku ingin
hidup bersamamu, namun raga ini yang tidak bisa dipaksakan untuk hidup terus.
Tetaplah tersenyum melewati hari-harimu tanpa keberadaanku.. Aku sangat
mencintaimu Suci..” sekuntum dandelion yang diberikan Farhan akan selau
dikenangnya Suci, sangat berharga.
Setiap hembusan angin bisa menerbangkan
semuanya perlahan, semuanya tetap terlihat menarik dan memepesona walau si
bunga pergi satu per satu. Dandelionpun tak berbunga lagi. Ia menunggu untuk
dapat merekah lagi kemudian mati. Menghargai setiap waktu yang singkat dengan
mengikuti arah angin yang akan membawanya kemanapun tanpa seorang yang tau
dimana akan meletakkan raga ini.. Saat angin meniupnya untuk pergi tapi kepergian
itu bukan akhir segalanya. Justru merupakan awal kehidupan baru karena berkas mereka
memenuhi penciptaan Allah untuk menebarkan impian dandelion tumbuh di tempat
lain. Suci ingin menciptakan butiran-butiran dandelion emas untuk orang-orang
disekitarnya, lalu perlahan mengikuti arah Farhan yang jauh di sana, jauh...
~~~